search blog

Kamis, 29 Juli 2010

Syariah Islam

Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek

Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.

Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya…[i/]” (Qs. al-A’raaf [7]: 3).

Sabda Rasulullah Saw:

“[i]Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim].

Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.

Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.

Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.

Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek

Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek

Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.

Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam.

Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia.

Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12).

Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` [4]:126 dan Qs. ath-Thalaq [65]: 12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh [71]: 16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat [41]: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.

Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits. Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah SWT:

“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” (Qs. as-Sajdah [32]: 7).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).

Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.

Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek

Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek

Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.

Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam.

Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia.

Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12).

Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` [4]:126 dan Qs. ath-Thalaq [65]: 12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh [71]: 16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat [41]: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.

Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits. Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah SWT:

“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” (Qs. as-Sajdah [32]: 7).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).

Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.

Imtaq dan Iptek


Imtaq merupakan singkatan dari iman dan taqwa, sedangkan iptek adalah singkatan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, apa yang dimaksud keseimbangan imtaq dan iptek? Sebenarnya kalau boleh dikatakan kalimat tersebut mengacu ke keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan keimanan. Ilmu pengetahuan umumnya diperoleh dari bangku sekolah dalam porsi yang relatif besar, sedangkan keimanan adalah hidayah. Kalau diperoleh dari hidayah artinya adalah tidak semua orang mendapatkannya karena hidayah Allah-lah yang menentukan.

Memang, ilmu dan keimanan sama-sama bisa dipelajari. Namun, jika ilmu bisa dipelajari dengan otak, keimanan tidak. Keimanan akarnya ada di hati. Nah, ini yang susah. Hati manusia sejatinya bukan miliknya, tetapi Allah-lah pemiliknya. Artinya, andaikata seseorang menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, belum tentu dia menguasai hatinya. Menguasai di sini dalam artian kita bisa mengendalikan sepenuhnya kapan harus cinta, kapan harus benci, kapan harus beriman, dan kapan tidak beriman.

Nah, pertanyaannya adalah memilih untuk menjadi orang yang berilmu tetapi tidak beriman, atau orang yang beriman tanpa ilmu, atau orang yang beriman sekaligus berilmu? Tentu sebagian besar dari kita memilih opsi terakhir. Lantas, seperti apa peran ilmu dan iman dalam kehidupan kita? Seharusnya, keduanya kita gunakan untuk semakin mengenal Allah. Ilmu membuat kita mampu merasakan betapa luasnya pengetahuan Allah (dan betapa sempitnya pengetahuan kita) dan iman membuat kita semakin yakin kepada ke-Maha Besar-an-Nya. Jadi, keseimbangan di sini bukan dalam artian bahwa ilmu dan iman adalah dua hal yang terpisah, namun keduanya mutlak diperlukan oleh seorang muslim untuk menjadi muslim yang sebenar-benarnya.

Waktu Shubuh


Waktu Shubuh Ditinjau Dari Dalil Syar’i Dan Astronomi
Penentuan waktu shubuh diperlukan untuk penentuan awal shaum (puasa) dan shalat. Tentang waktu awal shaum disebutkan dalam Al-Quran, “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim). Fajar yang bagaimana yang dimaksudkan tersebut? Hadits dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim). Dalam fikih kita mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kidzib (palsu)

Lalu fajar shadiq seperti apakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah).

Karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan jam, perlu diketahui kriteria astronomisnya yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut. Perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kidzib dan fajar shadiq. Kemudian perlu batasan kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus atau algoritma program komputer.

Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.

Fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

Fajar apakah sebagai pembatas awal shaum dan shalat shubuh? Dari hadits Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam.

Apakah posisi matahari 18 derajat mutlak untuk fajar astronomi? Definisi posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18 di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu – antara lain kandungan debu yang tinggi – sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18 derajat di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.

Para ulama ahli hisab dahulu sudah merumuskan definisi fajar shadiq dengan kriteria beragam, berdasarkan pengamatan dahulu, berkisar sekitar 17 – 20 derajat. Karena penentuan kriteria fajar tersebut merupakan produk ijtihadiyah, perbedaan seperti itu dianggap wajar saja. Di Indonesia, ijtihad yang digunakan adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat. Kriteria tersebut yang kini digunakan Departemen Agama RI untuk jadwal shalat yang beredar di masyarakat.

Aqidah


Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti .
Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:

“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.” (Lihat Fiqhul Akbar, Imam Syafi’i hal. 16)


Peranan Akal dalam Masalah Keimanan

Akal manusia mampu membuktikan keberadaan sesuatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?” Jawabnya : “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.”
Oleh karena itu, ayat-ayat Al Qur’an adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya Sang Pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:

“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini.” (Al-Jaatsiyat 3-4).

Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah sudah berada diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :

“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira- ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya.” (HR. Abu Nu’im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shoheh)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui Al-Wahyu. Apabila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta’wilkannya sesuai dengan kemampuan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata:

“Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta’wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.”(Lihat buku I’llamul Muwaaqi’in, jilid 1, halaman 5.)

Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna “persemayaman-Nya” (istiwaa’), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :

“Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid’ah/ salah.”(Lihat Fathul Baari, jilid XII, halaman 915).

Jalan ini pula yang ditempuh Asy-Syafi’i, Muhammad Abdul Hasan Asy-Syaibani, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain.

Kerusakan Aqidah Umat Islam Akibat Filsafat Yunani

Sebagian para ulama khalaf (ulama Mutaakhirin), terutama ahli ilmu kalam (Mutakallimin) tidak menjalani cara yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka tidak puas dengan cara berpikir demikian. Oleh karena itu, mereka lalu menta’wilkan suatu Al-Wahyu yang termasuk mutasyabihat (tidak dijelaskan rinci oleh Allah dan Rasul-Nya, a.l. tentang sifat dan perbuatan Allah SWT), sesuai dengan kehendak akal, padahal semua itu berada diluar kemampuan akal. Mereka menggunakan dalil aqli dengan dasar mantiqi/logika untuk membahas hal-hal seperti bergeraknya Allah, turunnya Allah ke langit, hubungan antara sifat dengan Dzat Allah, dan lain-lain.
Meskipun ulama khalaf menempuh jalan yang tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Al-Quran, tetapi sebenarnya mereka masih tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalil-dalil syar’iy. Berbeda halnya dengan jalan yang ditempuh oleh kaum muslimin yang memandang filsafat Yunani sebagai tolak ukur/titik tolak aqidah. Mereka telah mencoba menggunakan akal untuk memecahkan persoalan yang pernah dialami oleh para filosof Yunani terdahulu, tanpa kembali pada ketentuan Al-Wahyu dan contoh dari Rasulullah SAW. Mulailah mereka melontarkan kembali masalah-masalah klasik, seperti wihdatul-wujud dll. Pendapat-pendapat mereka (ahli kalam dan filosof) inilah yang telah meragukan umat terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masalah aqidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan mengeluarkan sebagian kaum muslimin dari Islam. Oleh karena itu aqidah Islam perlu dijauhkan dari ilmu mantik atau filsafat agar tidak membahayakan aqidah ummat. Sumber aqidah hanyalah Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir. Metode yang digunakan adalah metode aqliyah (melalui pemahaman terhadap dalil aqli dan naqli) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum umat Islam bertemu dengan ahli filsafat (Yunani) dan ajaran-ajarannya.

Keutamaan Orang Berilmu


Keutamaan Orang yang Berilmu
Seringkali manusia melupakan segi etika atau moral dari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan. Secara moral adalah normal apabila lingkungan akan memberikan kepada manusia berbagai hal yang akan diketemukannya. bahkan manusia juga harus memberikan toleransi kepada kenyataan bahwa sewaktu-waktu dapat timbul malapetaka bagi kehidupan manusia. Jika manusia dapat berlaku adil dengan semua yang makhiuk hidup di alam ini, maka disini letak kebenaran norma moral yang baik, dimana manfaat yang dieroleh dari alam ini, harus juga memberikan manfaat kepada manusia lain. Manusia dan masyarakat mengembangkan sistem nilai yang sesuai dengan keadaan lingkungan. Manusia menyesuaikan pada hidupnya dengan irama yang ditentukan oleh lingkungan alam. Karena perubahan lingkungan alam berada diluar kendali tangan manusia, maka manusia memasrahkan diri kepada lingkungan. Hal inilah yang melahirkan suatu kebiasaan, tradisi dan hukum yang tidak tertulis, yang kemudian mengatur pergaulan hidup masyarakat. Perilaku manusia merupakan pencerminan dari moral manusia yang dimilikinya. Citra manusia hanya mempunyai relevansi, jika dalam kehidupan bersama dalam kelompok masyarakat. Sebab dalam kehidupan berkelompok itulah terdapat sistem-sistem perlambang yang selanjutnya berfungsi sebagai sumber nilai. Cara manusia mewujudkan diri adalah hasil pilihannya sendiri. Oleh karena itu, apapun pilihannya, manusia sendiri yang bertanggung jawab.

Ilmu pengetahuan dalam sudut pandang filsafat adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam Al-
Qur’an adalah proses pencapaian segala sesuatu yang diketahui manusia
melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat dan obyeknya sehingga memperoleh kejelasan. Teknolgi adalah dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan yang berkarakteristik netral dan obyektif. Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya serta merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi.

Jika manusia berlaku adil dengan semua yang makhluk hidup di alam ini, maka disini letak kebenaran norma moral yang baik, dimana manfaat yang dieroleh dari alam ini, harus juga memberikan manfaat kepada manusia lain. Manusia menyesuaikan pada hidupnya dengan irama yang ditentukan oleh lingkungan alam. Karena perubahan lingkungan alam berada diluar kendali tangan manusia, maka manusia memasrahkan diri kepada lingkungan. Dalam pandangan Islam, antara iman, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul Islam. Di dalam Dienul Islam terkandung tiga unsur
pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata
lain iman, ilmu dan amal shaleh atau ikhsan. Pengembangan IPTEK yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan manfaat bagi umat manusia dan alam lingkungannya. Fungsi utama manusia yaitu, abdun: ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan, dan khalifah: tanggungjawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Allah memberikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. Manusia mendapat amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan keseimbangannya untuk kepentingan umat manusia.

ISLAM


IPTEK DAN SENI dalam ISLAM

Pengertian IPTEK
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu: 1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman kepada Allah swt. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak. 2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori : pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya nisbi. Al-
Qur’an dan As
-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak dan wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4). Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Dalam Al-
Qur’an, ilmu digunakan dalam
arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Al-
Qur’an dan sunnah
rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia . Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.
Pengertian Seni
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.

Integrasi Iman, Ilmu, Teknologi dan Seni
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul Islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmudan amal shaleh atau ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an S.Ibrahim/14:24-25. Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni. Pengembangan IPTEK yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan manfaat bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri. Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya.

Hakikat keimanan


Hakikat keimanan adalah Taqwa karena iman memberikan makna mempercayai dalam hati dan mengamalkan dalam setiap perbuatan. Dan pengamalan dalam perbuatan inilah yang tentunya berwujud ketaqwaan.yang berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Menjadi persoalan yang sering diri kita hadapi adalah sejauh mana kekuatanh iman kita, karena posisi iman pertama kali bersemayam di hati, maka sudah pasti kadar iman kita akan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pengalaman-pengalaman hidup yang membekas di dalam hati kita, pengalaman hidup seseorang tentu sangat beragam dan kadang sangat ekstrim ada orang yang mendapatkan pengalaman hidupnya yang serba kekurangan bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sekalipun, namun ada juga orang yang menjalani hidupnya yang sangat berlimpah secara materi, ada orang yang pengalaman hidupnya didominasi oleh tubuh yang sakit berkepanjangan, namun ada juga orang yang hidupnya sehat-sehat saja. Pengalaman-pengalaman hidup semacam ini jelas membekas dan menggurat dalam hati dan tentu sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang mengimani Tuhanya.

Yang sangat Istimewa adalah ada orang-orang yang meskipun dalam pengalaman hidupnya dihantam dan tercampakkan kedalam kondisi yang kuarang beruntung, namun iman mereka nyaris tidak berubah, bahkan semakin menguat meskipun terkadang sering terjadi pertentangan antara akal dan hati mereka, namun kembali sang hati memenanginya dan mereka menjadi hamba yang mukmin dan muttaqien. Lalu kekuatan apa sebenarnya yang mampu membuat mereka bertahan, jawabanya adalah kekuatan iman itu sendiri karena iman memang berada di dalam hati dan kadang memang tidak memiliki penjelasan yang dapat dengan mudah diterima oleh akal.